Jumat, 26 Maret 2010

Masalah2 Keagamaan

Jumat, 26 Maret 2010

Masalah-Masalah Keagamaan dan Penyelesaiannya

Sejak dahulu Bali dijuluki sebagai paradise island yang mempesona dunia karena mewarisi nilai-nilai tinggi antara lain: keindahan alam, keunikan tradisi-tradisi ritual agama, keramah tamahan penduduk, dan kreativitas seni yang tiada tara. Secara tidak disadari, nilai-nilai tinggi itu tahun demi tahun telah dieksploitir dengan giat dan terus menerus untuk imbalan materi baik bagi investor luar Bali maupun bagi penduduk setempat. Dampak positif dan negatif dari “kemajuan” itu kini telah dirasakan dan sebagian besar penduduk merasa cemas pada dampak negatif berupa penurunan nilai-nilai itu, sehingga pada suatu saat tidak lagi bernilai, disebut sebagai lost paradise yang meninggalkan kemelaratan bagi penduduk. Dalam keadaan seperti ini Bali tidak lagi mempesona bahkan kehidupan sudah menuju pada kehancuran skala dan niskala.

Konsep Trihitakarana dewasa ini hanya banyak diwacanakan tetapi tidak dilaksanakan sungguh-sungguh, baik oleh Pemerintah maupun oleh penduduk. Konsep ini sudah terbukti membawa kesejahteraan di masa lampau, namun lama-kelamaan dilanggar karena tidak ada suatu lembaga atau otoritas yang mengawasi pelaksanaannya. Jadi selama ini Trihitakarana hanya berupa anjuran atau filosofi agama yang dikagumi tetapi tidak dihayati sehingga tidak tercermin dalam perilaku penduduk sehari-hari.

1. TINJAUAN PERTAMA PADA ASPEK HUBUNGAN MANUSIA DENGAN HYANG WIDHI.

Masyarakat Hindu di Bali banyak yang melaksanakan ajaran Agama mengutamakan pada ritual/ upacara, itupun tanpa pengertian yang cukup. Sedikit yang mendalami tattwa dan susila agama, sehingga tidak menyadari garis kesadaran dharma dan adharma.

Jika dipikir lebih jauh, sebenarnya kehidupan beragama umat Hindu di Bali tidak ada yang membimbing. Para pemimpin umat yaitu para Sulinggih kebanyakan giat muput-muput upacara yadnya saja, sedikit yang mau memberi perhatian pada pencerahan agama dan membantu memecahkan masalah-masalah kehidupan yang berkembang di masyarakat.

Di samping itu umat Hindu di Bali makin terbelit oleh dampak negatif dari globalisasi dunia. Karena pengaruh materialisme, tidak sedikit terjadi kasus-kasus pelecehan nilai-nilai agama misalnya penyalahgunaan simbol-simbol suci agama Hindu, desakralisasi ritual, penghancuran sistim kultur Hindu-Bali, dan komersialisasi aspek-aspek keagamaan.

Begitulah, dewasa ini sudah biasa dilihat pementasan tari-tarian sakral untuk konsumsi wisatawan, upacara ritual yang dikontrakkan hak siarnya pada perusahaan TV, dan pembangunan objek wisata di dekat pura yang suci, dan lain-lain lagi.

Umat yang terjebak melaksanakan ajaran agama hanya pada kegiatan ritual atau upacara-upacara Panca Yadnya saja sering menjadi objek oleh “pemimpin umatnya” karena diharuskan mengeluarkan biaya tinggi untuk sarana upacara, dan berbagai kegiatan upacara yang diada-adakan.

Pelajaran agama di sekolah-sekolah umum kurang diperhatikan, bahkan guru-guru agama banyak yang melakukan profesinya bukan karena dorongan sebagai seorang misionaris, tetapi untuk nafkah kehidupan.

Perhatian pemerintah pada bidang agama Hindu sangat kurang. Masyarakat mengira dengan adanya Kantor Departemen Agama, masalah agama Hindu di Bali sudah ditangani dengan baik. Sebenarnya tidak demikian; Kandep Agama menangani berbagai agama yang ada di Bali, dan untuk porsi agama Hindu terkadang lebih sedikit dibanding agama lain. Ambillah contoh, di Bali belum ada lembaga Pengadilan Agama Hindu.

2. TINJAUAN KEDUA PADA ASPEK HUBUNGAN MANUSIA DENGAN MANUSIA.

Sebagai akibat kurangnya kesadaran tattwa kedharmaan bagi sebagian besar umat Hindu di Bali maka kehidupan harmonis antar umat Hindu semakin luntur.

Nilai-nilai hubungan kemanusiaan sudah didasarkan pada kepentingan materi dan balas jasa. Tattwa-tattwa yang mulia seperti paras-paros, salunglung sabayantaka, saling asah saling asuh dan saling asih hanya sebagai selogan yang muluk-muluk yang digunakan untuk menunjukkan status sosial.

Umat Hindu di Bali makin jelas menonjolkan kepentingan-kepentingan yang bersifat inidivualistis baik bagi dirinya sendiri maupun bagi kelompoknya. Sifat-sifat mengumbar sad-ripu dan berbagai perilaku manusia yang tercela dapat dilihat pada kejadian sehari-hari yang meliput tidak hanya rakyat biasa, bahkan juga di kalangan pemimpin pemerintahan dan pemimpin umat Hindu. Banyak yang berdalih sebagai sudah zamannya demikian, seperti takdir tibanya zaman Kali.

3. TINJAUAN KETIGA PADA ASPEK HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALAM.

Hyang Widhi menciptakan manusia sebagai mahluk utama yang mempunyai tri pramana yaitu sabda, bayu, dan idep.

Karena memiliki idep ini manusia dapat mencapai kesejahteraan dan sekaligus juga karena idep manusia akan menuju kemusnahan. Kemusnahan umat manusia akan terjadi bila alam sudah tidak lagi mendukung kehidupan manusia.

Dewasa ini Pemerintah dan umat Hindu di Bali makin tidak memperhatikan keharmonisan hubungan manusia dengan alam. Penebangan hutan, pemanfaatan bukit-gunung-lembah-laut untuk real estate, objek wisata, penambangan, dan pembuangan sampah sudah memporak-porandakan kelestarian alam, menimbulkan kekeringan di musim kemarau, banjir di musim hujan, dan penyebaran berbagai penyakit.

Upacara-upacara besar yang dilakukan untuk menjaga kelestarian alam seperti wana kertih, pecaruan, dan ngusaba, tidak akan berhasil jika tidak disertai dengan perubahan perilaku manusia yang rajin merusak alam.

Di samping itu pertambahan jumlah penduduk yang berjejal di pulau Bali yang sempit ini telah menyebabkan pengikisan area persawahan, perkebunan, hutan, danau, dan laut. Ironisnya pertambahan penduduk di Bali lebih banyak karena migrasi, bukan karena kelahiran.

Pertanyaan berikut ini adalah bagaimana upaya kita untuk meminimalkan dampak negatif seperti di atas dan bagaimana caranya agar trihitakarana tidak hanya menjadi selogan tetapi dilaksanakan dengan efektif ?

Jawaban yang pas adalah menumbuhkan kesadaran bersama. Upaya ini akan efektif bila PHDI Propinsi Bali mendapat dukungan dari Pemerintah dan segenap umat Hindu di Bali sehingga dapat berperan sebagai:

1. Partner Pemerintah dalam menetapkan peraturan dan kebijaksanaan yang menyangkut kehidupan sosial religius, sosial kultur, dan kelestarian alam.
2. Pemimpin umat yang merupakan lembaga bhisama di mana petunjuk-petunjuknya diikuti/ ditaati.

Keadaan yang dilihat dewasa ini, Pemerintah kurang memperhatikan keberadaan lembaga PHDI.

Masalah dualisme PHDI Propinsi Bali hingga saat ini belum tuntas; Pemerintah tidak menyediakan kantor-kantor PHDI di Kabupaten, apalagi memberikan kendaraan atau fasilitas lainnya. Ada beberapa kali Pemerintah pernah mengundang PHDI untuk memberikan pendapat dalam penetapan Amdal atau kelayakan lingkungan suatu proyek investasi, tetapi saran-saran PHDI kurang diperhatikan.

Seandainya Pemerintah menyadari pentingnya keberadaan PHDI, maka dengan kerjasama lembaga-lembaga lain seperti lembaga Adat, LSM, Ormas –ormas Hindu, dan para pemerhati, PHDI dapat memberikan masukan kepada Pemerintah dalam mengendalikan roda pemerintahan menuju pada kesejahteran umat Hindu.


sumbernya :

Stiti Dharma Online

0 komentar:

Posting Komentar

 

Kalender Bali